Degup Kagum di Gunung Merbabu (Via Selo)

Ini kedua kalinya saya bertandang ke Gunung Merbabu. Gunung ini memang salah satu ciptaan Tuhan paling seksi, menurut saya, terutama di musim hujan saat rerumputan hijau dan tanaman bertumbuh lebat. Di balik bukit-bukitnya selalu ada kejutan, lembah-lembahnya yang berlekuk membuat saya kerap berdegup kagum dengan ciptaan-Nya :)

Kesempatan kali ini saya pergi menggunakan bis dari Jakarta (Pinang Ranti) ke Semarang, karena dadakan. Jam tiga pagi saya diturunkan di daerah Krapyak dan lanjut naik ojek ke Stasiun Semarang Poncol untuk menjeput empat teman saya yang lain. Dari sana kita berangkat menuju Boyolali selama tiga jam, dengan mobil yang disewa khusus penyelenggara perjalanan kami, Bulaba.


Setelah bersih-bersih, makan siang, dan packing ulang di basecamp--yang kami tumpangi untuk menginap juga setelah turun gunung--kita kembali diantar, kali ini dengan mobil bak terbuka menuju basecamp pendaftaran. Sekitar jam satu siang, kita pun mulai perjalanan seru di Merbabu via Selo.



Berhubung saya sudah pernah ke Merbabu *sombong* dengan jalur yang berbeda, saya mungkin bisa sedikit gambarkan perbedaannya. Dibanding melewati jalur Cuntel, medan pendakian di jalur Selo tidak terlalu, amat, melelahkan. Tapi memang sedikit lebih panjang daripada Cuntel.



Pos 3
Walaupun tidak berat, tapi cukup lama untuk tim kita sampai di Pos 3 yang menjadi lahan kemah pertama. Sekira sebelum pukul lima sore, kita sudah sampai di sana dan membangun tenda. Setelah makan malam, kita harus pergi tidur karena tengah malamnya kita akan mendaki ke puncak!

Sebelumnya, saya pernah gagal naik ke puncak karena mental nggak kuat dingin, meskipun waktu itu setelah matahari terbit. Kali kedua ini saya harus keluar tengah malam, yang mana dipikiran saya akan lebih dingin. Belum lagi jarak tempuh yang lebih panjang, empat banding dua jam dari saat di Cuntel dulu. Tapi bagaimana pun saya coba lawan ketakutan diri sendiri dengan dukungan teman-teman seperjalanan kali ini.
Setelah mendaki gunung, lewati lembah dan sabana. Waktu subuh sebelum sampai puncak.
Dari Pos 3, kita lewati bukit nan terjal, kemudian sabana pertama, kembali menanjak jalanan terjal, lalu sabana kedua, merayapi bukit, baru sampai di puncak. Lagi-lagi saya kedinginan parah, tapi alhamdulillah saya berhasil sampai di puncak Triangulasi dan Kenteng Songo.
Saya kira saya gila juga waktu itu karena keluar tengah malam untuk muncak tanpa sarung tangan dan hanya memakai legging tipis. Walaupun dengan kostum seadanya seperti itu nggak bikin saya hipotermia, jangan contoh saya, karena kekebalan tubuh kita bisa naik turun sewaktu-waktu.
Dan Tuhaaan! Setelah menempuh waktu kurang-lebih enam jam, saya dan teman-teman sampai di Puncak Kenteng Songo. Bersama-sama dengan pendaki lain kita menyaksikan matahari pagi terbit yang mulai menyinari bukit-bukit Merbabu yang kita lewati di tengah gelap gulitnya malam hari. Sayangnya, embusan angin pagi membuat badan saya yang cuma dilapisi satu kaos dan jaket pun terus menggigil.

Nggak nyangka juga berhasil naik lewatin jalur seterjal itu :D





Saat turun, saya kaget waktu kembali pulang melalui jalur yang sama. Ternyata naik gunung ketika gelap nggak lebih mengegangkan saat di bawah cahaya matahari. Yah, karena medan pendakian sebenarnya lebih terlihat ketika terang, contohnya saat liat jalur di foto di bawah ini...



Komentar