Ketika Liburan Jailolo Menguras Adrenalin

Jailolo, satu wilayah anggota Moloku Kie Raha (Penguasa Empat Gunung), jadi destinasi terakhir yang saya datangi di Maluku Utara Desember lalu. Ketertarikan saya untuk datang ke ibukota Halmahera Barat ini adalah alasan saya untuk memperpanjang liburan saya sampai 11 hari!

Semua berkat 'papa piara' yang berhasil menghipnotis saya dengan keindahan sunset di Jailolo. Juga berkat foto-foto pamer para traveler di Instagram. Semua bayangan indah di Jailolo sudah tertanam sebelum saya menginjakkan kaki di Maluku Utara.

H-4 kepulangan saya ke Jakarta atau hari Jumat saat itu, keberangkatan ke Jailolo sudah direncanakan. Tapi sayang, rencana itu gagal karena 'papa piara' saya masih sibuk dengan pekerjaannya. Teman-teman Ternate yang mau ikut pun sempat menawarkan saya dan Zul (yang hampir jadi akamsi Ternate) pergi ke daerah lain, seperti Tobelo di Halmahera Utara.

Saya sih setuju-setuju aja mau dibawa ke mana, yang penting ada tempat baru yang bisa didatangi sebelum pulang hari Senin. Tapi yang jelas, harapan untuk menyeberang ke Jailolo ditemani langit senja di hari Jumat yang cerah lalu pupus sudah. Bagaimana pun kami tetap berangkat Sabtu pagi keesokan harinya.

Sekitar jam 6 kami semua sudah bersiap dan berangkat ke Pelabuhan Dufa-Dufa. Untuk ke sana, kita naik speed boat alias kapal cepat dengan biaya Rp60.000 per orang (harga per 2017). Eh, tapi kemarin karena 'papa piara' punya kenalan, kita cuma bayar Rp50K heheh. Satu jam kemudian setelah berangkat, kami pun sampai di Jailolo! JAI LO! *pakai nada lagu Jaiho



Foto-foto di atas diambil di taman festival, tidak jauh dari pelabuhan--tinggal jalan kaki saja. Di taman ini ada plang besi bertuliskan Jailolo City dan Patung Saloi, yaitu patung raksasa berbentuk ibu yang sedang menggendong tas tradisional yang biasa dipakai ibu-ibu ketika pergi berkebun.

Puas foto-foto di sana, kami langsung pergi ke rumah 'papa piara' saya. Papa piara yang mana sih? Yang pakai baju putih, noh! Masih muda ya? Iya, banget, orang lebih tua dari saya! Hha. Kak Muhlis adalah pemuda asli Jailolo, yang kebetulan bekerja di Ternate dan ditakdirkan menampung saya dan Zul.

Saya, Zul, Kak Faren, dan Kak Masdi pergi ke rumah orangtua Kak Muhlis dengan bentor alias becak motor. Di rumah Kak Muhlis kita istirahat sejenak sambil memikirkan mau ke mana, cari motor, dan menunggu teman lainnya yang mau menyusul.

Sebelum hari makin siang dan tiga motor menganggur sudah tersedia, kita pun memutuskan untuk pergi ke Sumber Air Panas Galala dan Menara Suar, seperti di Pulau Hiri kemarin.

Sumber Air Panas Galala

sumber air panas galala

"Dulu dibilang, ada raksasa pernah buang air, terus keluar ini," kata Kak Muhlis sambil menunjuk bebatuan hitam yang bertebaran di pinggir pantai.

"Buang air, pipis di sini gitu, makanya airnya hangat?" tanya Kak Faren dengan polosnya. Diikuti wajah penasaran dari kami semua.

"Ini imajinasi aku aja kok," jawab Kak Muhlis tak berdosa. Whatta...?

Jadi gaes, percaya atau nggak, sumber air panas yang dimaksud ini adanya di pantai Galala. Ada yang anak geologi di sini? Tolong bantu pencerahan ilmiahnya! Air di bibir pantai Galala ini memang hangat cenderung panas dalam radius beberapa meter saja. Mungkin teori aliran lava di bawah tanah pantai ini bisa menjelaskan mengapa airnya panas.

Faktanya memang Jailolo ini daerah vulkanik. Ada gunung yang menjulang, persis seperti tetangga lainnya yang masih jadi anggota Moloku Kie Raha.

Tidore - Maitara - Ternate 


Menara Suar Tg. Babo

Dari Pantai Galala kami melaju ke arah Menara Suar. Untuk ke sana ternyata kami masih harus trekking ke ujung tanjung kecil. Setelah memarkirkan motor, kita sudah harus melalui jalanan menanjak di antara perkebunan warga. Udah cuaca mendung, jalanannya nanjak terus, banyak pohon, jadilah panas. Untungnya ini nggak sesusah naik gunung, tapi tetap menguras adrenalin.

Menara Suar Jailolo

Gagahnya Menara Suar yang dikelola Menteri Perhubungan ini bikin saya ciut. Setelah minta izin sama penjaga menara, teman-teman saya satu per satu naik ke atas. Pikirnya mudah, tapi ternyata kita diuji dengan kehadiran induk burung.

Awalnya kita nggak tau kenapa burung itu berputar-putar di atas kami. Ketika Kak Muhlis dari kami naik duluan, burung itu tiba-tiba mematuk kepalanya. Duh, sudah dibikin ciut tingginya menara, kita harus diserang burung yang sepertinya ingin melindungi daerahnya. Apakah ini pertanda buruk?

Ternyata tidak. Setelah kita menghabiskan waktu cukup lama untuk memberanikan diri naik dari anak tangga ke anak tangga lainnya, sampailah kita di puncak menara! YEY! Dari sana, kita bisa melihat pemandangan pantai dan daratan Kota Jailolo.

 

Rumah Tradisional Sasadu

Rumah adat Sasadu
Rumah adat Sasadu

Siang harinya, setelah tiga teman lain menyusul dari Ternate, kami konvoi ke perkampungan adat di wilayah Halmahera Barat ini. Di satu perkampungan di Jailolo, kami menemukan rumah adat atau rumah tradisional Sasadu milik suku Sahu.

Dikutip dari rumah-adat.com, Sasadu berasal dari kata Sasa – Sela – Lamo atau besar dan 'tatadus' (berlindung), sehingga Sasadu memiliki arti berlindung di rumah besar. Rumah adat ini berbentuk rumah panggung ini dibangun dengan kayu dan anyaman daun sagu sebagai atap rumahnya, tanpa paku.\


Di dalam rumah adat ini, saya menemukan juga alat musik tradisional yang disebut Kakabelu. Kakabelu ini dari jauh keliatan seperti batang pohon gitu aja, tapi ternyata ini adalah gendang panjang dari batang pohon sagu yang disusun saling menyilang. Alat musik ini biasanya dimainkan saat upacara adat atau penyambutan tamu. Sayangnya kemarin kita nggak disambut #ngarep.

Alat musik Kakabelu


Pantai Tuada 



Untuk melihat senja pertama di Jailolo, kami beranjak dari rumah adat Sasadu ke Pantai Tuada yang jaraknya cukup jauh. Kata teman saya, pantai ini pernah jadi salah satu lokasi syuting video klip lagunya Andien.

Setelah melalui perjalanan cukup panjang di atas motor, beberapa perkampungan kristen Jailolo, kami pun sampai di Pantai Tuada. Musik reggae, pasir putih, dan pantai yang berwarna keperakan karena cahaya matahari sore di ufuk barat.

Fyi, pantai ini sudah cukup terkelola dengan baik sebagai tempat wisata, Jangan heran kalau kalian dikenakan biaya parkir ketika datang atau pergi. Pantai ini tersedia sejumlah fasilitas pendukung seperti warung makan sampai bilik kamar mandi gratis.

Pantai ini juga punya taman mangrove aka bakau yang bisa dijelajahi dengan berjalan kaki di atas jalan kayu yang dicat warna warni. Ada juga beberapa dermaga di perbatasan hutan bakau dan pantai untuk tempat foto-foto cantik. Kalau mau lucu-lucuan, ada beberapa papan bertuliskan pesan-pesan konyol untuk anak muda galau.

Overall, pantai ini romantis banget!

senja di tuada

Air Terjun Bakumatiti

air terjun bakumatiti

Judulnya 'menguras adrenalin', terus di mana yang menguras adrenalin selain yang di Menara Suar?? Ini dia yang menguras adrenalin! Air Terjun Bakumatiti. Berangkat dengan malas di hari Minggu siang yang diberkati hujan, kami berdelapan menuju desa yang menjadi lokasi air terjun kembar ini. 

Pukul 11 siang kami sampai di desa tersebut. Ternyata tidak cuma kami yang mau ke sana saat itu juga. Tujuh anak muda lainnya juga baru sampai dengan motor-motor mereka. Setelah bertemu dengan warga setempat, tiga bocah laki-laki menawarkan diri untuk mengantar kami ke air terjun tersebut.

Kami ber-15 pun berdoa dan memulai perjalanan setelah berdoa bersama. Rintik hujan yang awalnya mengguyur kita mulai berkurang ketika kami memasuki perkebunan milik warga yang didominasi kopra, juga salak. Jalanan yang becek dan berlumpur menuntut kita untuk hati-hati melangkah.

Dari awal, bocah laki-laki yang memandu kami tidak memberi tahu berapa jarak perjalanan yang harus kita tempuh untuk sampai di air terjun tersebut. Tapi kita, terutama saya dengan mindset pendaki gunung, lanjut saja. Ternyata, kita baru sampai air terjun kurang lebih 3 jam.

Untuk gambarannya, geser tautan instagram di bawah ini:


Untuk pulangnya, kita mengambil jalur air, yang menurut bocah lokal tersebut lebih dekat. Tapi, ternyata jalurnya aduhaaii menantang!!! Kita harus menyusuri sungai yang berarti kita harus (sering) nyebur ke sungai yang tak sedikit berarus. Niat saya menghindari basah-basahan di air terjun, malah batal karena harus menjalani ujian ala militer ini T.T

Puncaknya, ketika kita harus menghindari gelapnya hutan di malam hari ketika kita belum kembali ke perkampungan sampai jam 7 malam!

Bolang-nya Bakumatiti

Komentar

  1. Aku juga nggak tau kenapa ada air panas di pantai, hehehe. Tapi menara suarnya serem banget, aku nggaka akan berani naik ke atas hahaha.

    Salam kenal kak dari thetravelearn.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. Subhanallah banget kan yaah. Iya, menara suarnya itu ngablak gitu aja, ngeri jadinya hha

      Salam kenal juga. Thanks udah blogwalking ke sini :)

      Hapus

Posting Komentar