Jalan-Jalan di Timika (3)

Jalan-jalan di Timika jadi pengalaman mandiri saya yang paling random. Berbekal tiket gratisan dan uang hasil dagang kecil-kecilan sebagai semi pengangguran, saya pun nekat pergi ke timur Indonesia. Beruntung saya mendapat seorang pustakawan dari satu sekolah dasar yang mau menerima saya sebagai tamunya dan mengajak saya berkenalan dengan Timika lebih dekat.

Bulan Agustus 2014, Timika tengah diancam konflik dan musim hujan yang tak menentu. Tapi, lima hari tetap bisa saya habiskan dengan quality time bersama anak-anak di sekolah tempat teman saya bekerja, juga teman-teman pendatang yang mengadu nasib di sana.

Adapun yang menurut saya paling berkesan adalah ketika bisa bermain dan mengenal lebih dekat anak-anak lokal yang bersekolah dan berasrama di sana. Mereka adalah anak-anak suku Amungme dan Kamoro.

Seperti yang pernah saya ceritakan pada tulisan pertama, mereka sangat manis dan terbuka dengan kehadiran saya. Lebih dari itu, mereka juga selalu berani mengekspresikan diri. Hal ini saya amati lebih banyak di dua hari terakhir saya di Timika.


Hari 4

Upacara Bendera Pertama Mereka

Hari ulang tahun Indonesia saya tercinta telah lewat Minggu, 17 Agustus 2014 kemarin. Keesokan harinya di hari Senin yang mendung, teman saya Kak Friska dan Kak Lena (yang berprofesi sebagai guru di Sekolah Taruna Papua) telah mengenakan seragam spesial untuk mengikuti upacara.

Saya pun turut bergabung dengan mereka, berangkat pagi-pagi ke sekolah dengan harapan hari tidak hujan. Sayangnya, sampai kami sampai di sekolah, cuaca tetap tidak berpihak pada kami. Demikian juga untuk anak-anak yang sudah berlatih untuk menjadi pasukan upacara 17-an.

Bagaimana pun upacara tetap harus dilakukan. Upacara perdana saat itu pun diadakan di dalam ruang makan asrama. Nggak terbayang bagaimana kerepotan mempersiapkan rencana B tersebut karena menyesuaikan kondisi. Tapi, upacara hari itu bisa tetap berjalan dengan khidmat.

Siswa-siswi pasukan upacara melakukan persiapan

Upacara Bendera untuk merayakan HUT RI ke-69

Momen ini jujur buat saya terharu. Lama tidak melakukan upacara bendera, saat itu saya melakukannya di timur Indonesia, di daerah yang tidak pernah saya harapkan saya berada di sana sebelumnya. Bagaimana pun, this one Indonesia!

 

Selepas upacara, anak-anak dan tim guru berganti pakaian dan dikumpulkan di lapangan yang saat itu tak lagi diguyur hujan. Meski lapangan rumput becek dan agak berlumpur, rencana untuk mengadakan "Lomba Kemerdekaan" tetap dilangsungkan.

----------------------------

Perlombaan di hari kemerdekaan (seperti yang sering diadakan di lingkungan tempat tinggal saya) bukan sesuatu yang asing. Kegiatan seperti itu selalu sukses mendaur ulang semangat siapa saja yang mengikutinya. Dan bagi anak-anak di sekolah ini, acara ini jadi sarana baik untuk menyalurkan energi dan bakat alami mereka.

Berbagai jenis perlombaan telah disiapkan panitia dan semua anak-anak kebagian gilirannya. Mulai dari perlombaan balap karung dan tarik tambang, sampai perlombaan ketapel (mainan tradisional anak-anak) yang disimbolkan sebagai perlawanan melawan musuh.

 
 

Mau rasanya main bareng mereka dan berkotor-kotoran, tapi kalau tidak motret seperti ini saya jelas nggak bisa bawa bikin tulisan ini hhe..

Seru lihat mereka senang bermain di luar. Energi anak-anak ini benar-benar terpancar, lebih cerah dari warna-warni kaos yang mereka pakai. Kekompakkan mereka saat bekerja dalam tim tak diragukan, keberanian saat mereka harus berjuang sendiri juga tak terelakkan.

-----------------------------

Energi yang sama masih terasa ketika di malam harinya saya mengikuti kelas tambahan untuk anak kelas 3, bersama teman saya Kak Friska. Malam itu, saya untuk pertama kalinya masuk ke kelas belajar yang biasa diisi teman saya ini.

Tidak ada tema atau topik khusus yang akan dibahas Bu Guru Friska, melainkan membantu menyelesaikan kesulitan belajar mereka atau mengerjakan PR.

Ketika kami tiba di kelas, anak-anak yang mengenakan pakaian sehari-hari mereka telah mengisi kursi masing-masing. Beberapa wajah mereka sudah pernah saya lihat. Beberapa dari mereka juga nampak sudah mengenali wajah asing saya.

Setelah menyapa anak-anak, Bu Guru Friska memperkenalkan anak-anak kepada saya yang sudah mojok di belakang kelas, siap mengikuti kelas. Saya pun berdiri dan mencoba memperkenalkan diri. Dari menyebutkan nama, perkenalan berlanjut sampai menjelaskan dari mana saya berasal.

Berinteraksi dengan anak-anak dalam kelas

Karena banyak yang tidak tahu di mana Jakarta, saya mencoba menggambar peta Indonesia untuk menunjukkan posisi tempat kami berada dan rumah saya. Dari situ, momen perkenalan kami jadi lebih puanjang.

Setelah menggambar, mereka sempat saling berlomba menebak dari suku mana saya berasal. Ada yang bilang saya orang Kamoro, ada yang tanya "kakak Amungme kah?" padahal dia sendiri ragu, ada yang sebut-sebut suku Dani. Haha. Saya pun menjelaskan keturunan orangtua saya, supaya mereka paham kalau Indonesia itu punya beragam suku.

Kemudian saya mencoba mereka menebak usia saya. "35!", "80!" "15!". Mereka saling bersautan, tak mau mengalah. Beberapa anak terlihat berpikir keras, yang lain hanya senang mengangkat tangan untuk ditunjuk dan menjawab sekenanya, ada juga yang tampak tak bersemangat menjawab.

Tidak ada yang bisa menebak angka yang mendekati, saya pun mencoba mengajarkan cara menghitung usia dengan matematika. Tahun saat ini dikurangi tahun kelahiran. Saya menulis angka-angka dengan huruf besar. Saya pikir itu tantangan yang mudah untuk anak-anak kelas tiga, yang biasanya sudah diajari perkalian.

Dari yang berani maju ke depan, tidak satu pun berhasil menjawab dengan tepat atau setidaknya mendekati. Bahkan satu anak yang terus semangat mencoba maju ke depan tidak juga bisa menjawab. Saya gigit bibir. Tidak sedikit yang maju hanya untuk main-main.

Pada akhirnya, Bu Guru Friska menjadikan tantangan ini tugas untuk mereka hari itu. Dia meminta anak-anaknya mengeluarkan buku tulis agar mereka mengerjakannya sendiri-sendiri. Saya pun turun tangan untuk membimbing beberapa murid melakukan perhitungan tersebut.

Ketika kondisi mulai tidak kondusif, Bu Guru Friska buka suara untuk menertibkan kelas. Saya sendiri sempat kaget dengan nada suaranya yang mencoba mengalahkan energi anak-anak ini. Saya terkesiap menghadapi caranya mendisiplinkan anak-anak yang jumlahnya tak sampai 20 tersebut. Sisa waktu malam itu pun diisi dengan pemberian nasihat.

Sebagai orang yang belum pernah berpengalaman mengajar anak-anak SD, apalagi anak-anak Papua, saya sedikit paham bahwa menjadi guru itu tidak mudah. Terlebih yang dihadapi adalah anak-anak yang masih membawa karakter alami mereka. Beratnya tugas guru adalah mengolah karakter dan energi tersebut menjadi sesuatu yang baik, sesuatu yang bisa berkelanjutan membawa manfaat.


Hari 5

Kenapa matahari baru muncul sekarang? Apa mungkin langit Timika bahagia karena saya pulang hari itu? Atau supaya saya mau tinggal lebih lama lagi? Dibanding empat hari sebelumnya yang selalu dirundung awan kelabu dan hujan, pagi di hari Selasa itu cerah--secerah wajah anak-anak TK yang saya temui di asrama.

Image may contain: 1 person
Jordan, calon penerus Michael Jordan yang super aktif

Di atas ayunan kami menyanyi lagu apapun yang mereka bisa nyanyikan. Saat itu juga saya mikir akan jadi apa mereka 10 tahun lagi. Apa guru-guru pendatang yang tangguh ini bisa menyetarakan pendidikan untuk anak-anak di timur Indonesia ini. Apa saya bakal punya kesempatan untuk kembali lagi dan berbagi lebih banyak untuk mereka. Apapun jalannya nanti, saya berdoa agar segala kebaikan yang dilimpahkan untuk daerah itu, dan Papua pada umumnya, berbuah manis di masa depan.

-----------------------------

Matahari semakin panas ketika saya pergi menuju bandara. Liburan, di kota yang tak pernah sayaa impikan ini, sudah selesai. Banyak ujian sebelum bisa sampai ke sini, pun ketika sudah di tempat. Ancaman konflik, cuaca buruk, mungkin baru segelintir ketidaknyamanan yang saya rasakan daripada mereka yang telah lama tinggal di sini. 

"Kak, aku jadi pingin kerja di sini kaya kalian."

"Nanti aja. Kamu rasain dulu kerja di Ibukota baru cari jalan untuk kerja di daerah."


Komentar

  1. Untuk membantu anda dalam menemukan cream pemutih wajah yang tepat, kami disini akan menampilkan beberapa produk pemutih wajah yang sudah terdaftar di BPOM, silakan anda kunjungi langsung situs

    BalasHapus
  2. Terimakasih sis Erika Kurnia ....betapa kayanya negeri ini Khususnya Papua dg keaslian dan ragam kekayaannnya... Salam hangat say Erika Kurnia

    BalasHapus

Posting Komentar